www.mediapresisihukum.com | OPINI PUBLIK
Pelecehan seksual oleh tenaga medis, khususnya oleh seorang dokter kandungan di Garut yang tengah viral, bukan sekadar isu kriminalitas biasa. Ini menyangkut persoalan mendasar : kepercayaan publik, keselamatan pasien, dan integritas profesi. Ketika seseorang mempercayakan tubuh dan nyawanya kepada seorang dokter, maka ada relasi kuasa yang sangat rentan disalahgunakan.
Kasus ini menunjukkan betapa sistem pengawasan, penegakan hukum, dan perlindungan korban belum cukup kuat untuk memberikan jaminan bahwa ruang pemeriksaan medis bebas dari pelecehan seksual.
Ketika ruang medis menjadi arena pelecehan, bukan hanya tubuh pasien yang terluka, tapi seluruh tatanan sosial dan hukum kita diuji. Bagaimana negara melindungi korban? Bagaimana sistem profesi menjamin integritas? Bagaimana budaya kita memandang dan memperlakukan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual? Artikel ini mengurai masalah dari sisi yuridis, sosiologis, dan HAM, sekaligus menyuarakan perlunya gerakan bersama untuk membela hak pasien.
Pelecehan seksual di ruang praktik medis bukan sekadar pelanggaran etika. Bukan pula hanya masalah hukum pidana. Ini soal pengkhianatan. Karena kejahatan itu terjadi di tempat yang seharusnya paling aman: ruang pemeriksaan. Tempat di mana pasien datang dengan tubuh yang sakit dan hati yang percaya. Tapi alih-alih disembuhkan, justru dilukai. Bukan oleh penyakit, tapi oleh tangan yang seharusnya menyembuhkan.
Dalam kasus seperti ini, hukum tak bisa lagi bersikap netral. Ia harus berdiri di sisi korban. Karena tak ada relasi kuasa yang lebih timpang selain antara pasien yang terbaring dan dokter yang berdiri. Ini bukan hubungan setara. Ini adalah ketimpangan yang mudah disalahgunakan. Apalagi jika yang disalahgunakan bukan hanya posisi, tapi juga kepercayaan.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan sebagai jawaban atas perjuangan panjang, lahir untuk memberi ruang aman bagi korban. Pelecehan seksual tidak lagi harus dibuktikan lewat luka fisik. Sentuhan yang tidak diinginkan, ucapan bernada cabul, bahkan sikap yang merendahkan martabat korban semuanya diakui sebagai bentuk kekerasan. Apalagi jika itu terjadi dalam konteks profesional, ketika korban berada dalam posisi tidak berdaya.
Namun, hukum tak dapat bekerja sendiri. Ia butuh keberanian korban untuk bersuara, polisi yang peka, jaksa yang sigap, hakim yang punya nurani. Sayangnya, kerap kali hukum masih berpihak pada pelaku. Korban harus menghadapi rangkaian tanya ulang dengan nada meragukan, dituding mencari sensasi, atau bahkan dibungkam oleh tekanan sosial dan kekuatan institusi. Karena pelakunya dokter, karena tempatnya rumah sakit, karena reputasi dianggap lebih penting daripada kebenaran.
Kode etik profesi kedokteran sebenarnya tegas.
Dokter tak hanya diminta menyembuhkan, tapi juga menjunjung kehormatan. Kode Etik Kedokteran Indonesia melarang dokter menyalahgunakan posisinya, menjaga privasi pasien, dan melindungi hak-haknya. Namun, kode etik tanpa keberanian menegakkan adalah teks di dinding tampak mulia, tapi tak dijalankan. Sementara korban bertambah, dan sistem tetap membisu.
Di sinilah titik rapuh sistem. Tidak semua rumah sakit memiliki mekanisme pengaduan.
Tidak semua institusi berani mengakui adanya pelanggaran dalam temboknya. Tidak semua organisasi profesi berani menindak anggotanya yang menodai sumpah. Padahal, kejahatan yang dilakukan oleh dokter lebih kejam daripada kriminal biasa. Karena ia dilakukan oleh orang yang disumpah untuk menyelamatkan.
Penegakan hukum menghadapi banyak kendala: minim saksi, kurang bukti fisik, hanya kata korban melawan kredibilitas pelaku. Jika sistem hukum masih bergantung bukti fisik semata, ia mengabaikan luka batin. Jika keterangan korban masih dianggap bukan bukti utama, maka sistem belum berpihak dan belum berkeadilan.
Sudah saatnya hukum berubah wajah. Menjadi hukum yang mendengar korban, bukan mencurigainya. Menjadi hukum yang memihak yang lemah, bukan tunduk pada yang kuat. Penanganan kekerasan seksual harus berbasis korban, bukan prosedur kaku atau birokrasi lambat. Harus ada pendekatan manusiawi, mengerti trauma, berani berdiri melawan kekuasaan yang menyimpang.
Negara jangan hanya berdiri di balik podium. Negara harus hadir di ruang-ruang sunyi tempat pelecehan terjadi. Negara harus memaksa rumah sakit membuka mata. Negara harus menuntut pertanggungjawaban organisasi profesi. Karena tanpa keberanian sistem, kejahatan terus bersembunyi di balik jas putih, dan korban jadi statistik terlupakan.
Pelecehan seksual oleh tenaga medis tak hanya melukai tubuh. Ia merusak sesuatu yang jauh lebih dalam yaitu kepercayaan. Bagi banyak perempuan, ruang praktik dokter adalah ruang terakhir tempat mereka berharap untuk didengar, disembuhkan, dan dilindungi. Tapi ketika ruangan itu menjadi tempat kekerasan terjadi, yang hancur bukan hanya tubuh, tapi juga keberanian untuk percaya. Percaya pada sistem. Percaya pada manusia.
Masyarakat kita masih gagap menghadapi kenyataan bahwa pelaku kekerasan bisa seorang profesional, berpendidikan tinggi, bermantel hormat. Dan korban? Harus membuktikan dirinya sendiri. Harus mengulang cerita pahit di depan orang yang menghakimi. Harus menerima bahwa banyak yang lebih peduli nama baik institusi daripada luka yang ia tanggung.
Dalam kasus di Garut, masyarakat terbagi dua. Ada yang membela korban. Tapi banyak yang meragukannya. “Kenapa baru bicara sekarang?” “Kenapa tidak melawan saat itu?” “Apa benar itu pelecehan?” Pertanyaan itu lebih sering ditujukan pada korban, bukan pelaku. Seolah beban pembuktian kekerasan harus ditanggung mereka yang paling lemah.
Ini bukan reaksi individu, tapi cerminan budaya. Budaya yang belum selesai berdamai dengan tubuh perempuan. Budaya yang menganggap pelecehan itu aib, bukan kejahatan. Kita hidup dalam masyarakat yang lebih mudah memaafkan pelaku bergelar daripada mendengar jeritan korban yang tak berdaya.
Di sini perempuan masih diajarkan diam. Menanggung rasa malu, seolah mereka yang bersalah.
Sistem sosial pun memperlakukan kasus ini dengan dingin. Korban sering tak mendapat dukungan keluarga. Keluarga minta diam agar tak malu. Tetangga membicarakan di belakang. Media sosial jadi ruang pengadilan kejam, di mana luka dikomentari, dipertanyakan, dipolitisasi. Tidak ada ruang aman, bahkan setelah korban berani bicara.
Akar persoalan sosiologis ini, adalah sistem sosial belum berpihak pada korban. Belum ada budaya yang mengedepankan empati. Kita sibuk menjaga citra, alih-alih membela kebenaran. Kita takut skandal, lupa bahwa di balik kasus viral ada manusia nyata yang terluka, bukan tokoh drama.
Pelecehan di ruang medis menunjukkan betapa rumitnya hubungan kekuasaan, budaya, dan keheningan. Dokter dianggap simbol pengetahuan dan keselamatan. Tapi ketika dokter jadi pelaku, banyak yang bingung harus bersikap bagaimana. Ketimpangan kuasa membuat korban kecil. Merasa tak punya tempat bicara. Merasa tidak ada gunanya melawan.
Kita butuh perubahan budaya, bukan hanya hukum. Budaya yang mengajarkan tubuh pasien bukan milik siapa pun. Tidak ada gelar atau jabatan yang boleh melindungi pelaku. Diam bukan pilihan, bicara bukan aib. Kita butuh keluarga yang mendukung, bukan menghakimi. Teman yang mendengar, bukan menyalahkan. Masyarakat yang berani berpihak, meski harus melawan sistem.
Media pun harus berperan. Dalam memberitakan pelecehan seksual, media harus menguatkan korban, bukan mengeksploitasi trauma. Terlalu sering wajah korban disamarkan, tapi ceritanya diurai habis-habisan. Ini bukan sekadar etika jurnalistik, ini soal menghargai kemanusiaan, menempatkan korban di tempat yang layak: dihormati, didengar, dilindungi.
Perubahan harus tumbuh dari bawah: dari sekolah, ruang kuliah kedokteran, pembicaraan di rumah, konten yang kita konsumsi. Anak-anak harus belajar bahwa menyentuh tanpa izin itu salah. Diam melihat pelecehan berarti setuju. Tubuh setiap orang adalah wilayah suci yang harus dihormati.
Kalau tidak sekarang, kita ciptakan generasi yang mewarisi luka yang sama. Membiarkan luka terus menganga di balik keheningan.
Pelecehan seksual bukan sekadar pelanggaran hukum. Bukan hanya soal moral atau etika. Ini soal hak. Hak paling dasar sebagai manusia: merasa aman. Dihormati.
Menyadari bahwa tubuh ini milik sendiri, bukan milik siapa pun yang merasa lebih tinggi, lebih kuasa, atau berhak.
Ketika pasien masuk ruang praktik dokter, ia membawa sakit dan kepercayaan. Percaya ruang itu aman, tak ada sentuhan tanpa izin. Tak ada pelecehan, intimidasi, pemanfaatan posisi. Tapi jika ruang itu jadi arena pelecehan, yang tercabik bukan hanya tubuh, tapi martabat manusia.
Hak asasi manusia relevan di sini. Yang dilanggar bukan hanya hukum pidana, tapi hak untuk hidup aman dan bermartabat. Deklarasi Universal HAM menyatakan: setiap manusia berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Setiap orang berhak atas perlindungan dari kekerasan berbasis gender. Maka ketika dokter melecehkan pasien, ia melanggar hak asasi manusia.
Negara pun punya kewajiban, bukan pilihan. Melindungi rakyat dari kekerasan bukan hanya janji, tapi tanggung jawab hukum dan moral. Negara tidak boleh hanya hadir saat kasus viral, atau bicara soal proses hukum. Negara harus ciptakan sistem pencegahan pelecehan seksual sejak awal. Pastikan pasien bisa bicara tanpa takut, korban mendapat keadilan tanpa harus viral.
HAM harus hadir dalam ruang praktik, ruang gawat darurat, ruang periksa kandungan. Harus hidup dalam SOP rumah sakit, pengawasan klinik, pendidikan tenaga medis. Jika HAM hanya berlaku di atas kertas, yang tertindas dibungkam, yang berkuasa menyembunyikan kesalahan di balik jas putih dan gelar.
Korban pelecehan seksual butuh pengakuan.
Diyakinkan bahwa apa yang dialami salah. Tubuh bukan tempat latihan ego siapa pun. Negara berdiri di pihak korban lewat kebijakan nyata: pusat pemulihan trauma, hotline 24 jam, polisi dan jaksa paham kekerasan seksual, sistem pendidikan kedokteran yang mengajarkan menghargai manusia.
Di banyak negara, pelanggaran HAM oleh tenaga medis adalah hal serius. Dokumen PBB dan WHO menyebut kekerasan seksual dalam layanan kesehatan sebagai kekerasan institusional. Artinya, sistem yang membiarkannya sama bersalah dengan pelaku. Sistem yang tutup mata, sibuk melindungi reputasi bukan keadilan.
Jika ingin disebut negara yang menjunjung HAM, pelecehan di ruang medis tak boleh dianggap insiden pribadi. Ini masalah sistemik: pengawasan lemah, kesadaran belum menyeluruh. Banyak ruang medis belum aman, dan korban memilih diam bukan karena tak sakit, tapi tahu sistem tak berpihak.
HAM milik setiap manusia tanpa syarat. Tidak tergantung gender, status, profesi. Dokter pun tunduk pada prinsip itu. Jika ada dokter melanggar hak pasien, sistem harus tanya: apa yang salah? Siapa yang membiarkan? Apa yang kita lakukan agar tak terjadi lagi?
Keadilan tak datang sendiri. Harus diperjuangkan lewat kebijakan, budaya, keberanian mengakui salah, dan komitmen membangun sistem kesehatan yang tidak hanya menyembuhkan, tapi menghormati.
Kekerasan seksual oleh tenaga medis bukanlah hal baru, baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Kasus Larry Nassar di Amerika Serikat menjadi sorotan utama karena skala dan dampaknya yang luas. Nassar, seorang dokter osteopati, menjabat sebagai dokter tim senam nasional wanita Amerika Serikat dari 1996 hingga 2014. Selama periode tersebut, ia melakukan pelecehan seksual terhadap lebih dari 265 atlet muda, termasuk beberapa nama besar seperti Simone Biles, Aly Raisman, dan McKayla Maroney .
Kasus ini mulai terungkap pada tahun 2016, ketika Rachael Denhollander, seorang mantan atlet, menjadi korban pertama yang secara terbuka mengungkapkan pelecehan yang dialaminya oleh Nassar.
Pengakuannya memicu gelombang kesaksian dari lebih 150 korban lainnya. Nassar ditangkap pada November 2016 dan dijatuhi hukuman pada Januari 2018, dengan total hukuman mencapai 175 tahun penjara .
Investigasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa Nassar menggunakan posisinya sebagai dokter untuk melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya, dengan dalih sebagai bagian dari perawatan medis. Praktik ini berlangsung selama lebih dari dua dekade, dengan banyak korban yang merasa terjebak dalam sistem yang tidak mendukung mereka untuk melapor.
Kasus ini juga menyoroti kegagalan institusi dalam melindungi korban.
USA Gymnastics, Michigan State University, dan Komite Olimpiade Amerika Serikat mendapat kritik keras karena tidak segera menanggapi laporan tentang perilaku Nassar. Beberapa pejabat tinggi dari institusi-institusi tersebut mengundurkan diri, dan USA Gymnastics serta Michigan State University mencapai penyelesaian hukum senilai hampir $900 juta dengan para korban
Di Indonesia, meskipun kasus serupa tidak mendapat sorotan sebesar kasus Nassar, namun beberapa insiden pelecehan seksual oleh tenaga medis pernah terjadi. Kasus-kasus ini sering kali tertutup karena faktor budaya, kurangnya mekanisme pelaporan yang efektif, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Korban sering kali menghadapi stigma dan takut melapor karena khawatir akan reputasi mereka tercemar. Selain itu, kurangnya pelatihan bagi tenaga medis mengenai etika profesional dan hak-hak pasien memperburuk situasi. Sistem pengawasan internal di rumah sakit dan institusi pendidikan kedokteran juga sering kali tidak efektif dalam mencegah atau menangani kasus kekerasan seksual.
Beberapa organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil mulai meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan terhadap pasien dan pendidikan etika bagi tenaga medis. Meskipun demikian, perubahan signifikan dalam sistem hukum dan budaya medis di Indonesia masih diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Dari kasus Larry Nassar dan insiden serupa di Indonesia, beberapa pelajaran penting dapat diambil :
1. Pentingnya Pengawasan Independen: Institusi medis perlu memiliki mekanisme pengawasan yang independen dan transparan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh tenaga medis.
2. Pendidikan Etika dan Hak Pasien : Tenaga medis harus diberikan pendidikan yang memadai mengenai etika profesional dan hak-hak pasien untuk memastikan perlakuan yang adil dan hormat terhadap pasien.
3. Sistem Pelaporan yang Efektif : Harus ada sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses bagi korban kekerasan seksual untuk melaporkan kejadian tanpa takut akan pembalasan atau stigma.
4. Perubahan Budaya Institusi : Institusi medis perlu membangun budaya yang mendukung keberanian korban untuk berbicara dan memastikan bahwa laporan mereka ditanggapi dengan serius.
5. Keterlibatan Masyarakat dan Media : Masyarakat dan media memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran dan mendukung korban, serta menekan institusi untuk bertanggung jawab.
Ada satu hal yang jarang dibicarakan saat kita mendengar kasus pelecehan seksual oleh dokter : mengapa mereka melakukannya?
Mengapa seseorang yang disumpah untuk menyelamatkan, bisa jadi pelaku kekerasan?
Ini bukan sekadar soal amoral. Bukan hanya tentang moralitas pribadi yang bobrok. Ini tentang kuasa yang tak terkendali. Tentang sistem yang memberi kekuasaan tanpa pengawasan. Tentang struktur sosial yang terlalu percaya pada gelar, dan lupa bahwa jas putih pun bisa ternoda.
Dalam kajian kriminologi, pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter masuk dalam kategori kejahatan berbasis relasi kuasa. Dokter bukan sembarang profesi. Ia disegani. dipercaya,bahkan dipuja. Pasien datang dalam kondisi paling rapuh sakit, takut, dan tidak tahu. Sementara dokter berdiri dengan wibawa, dengan ilmu, dengan alat-alat medis yang tak dipahami awam. Maka tak heran, relasi ini timpang. Dan di situlah celah itu terbuka.
Beberapa pelaku tahu betul mereka bisa menyembunyikan niat jahatnya di balik gerakan profesional. Mereka menyentuh tubuh pasien dengan alasan pemeriksaan. Mengatur posisi pasien dengan dalih prosedur. Menggunakan bahasa medis sebagai kedok. Dan saat korban menggeliat, ragu, atau ingin bertanya, pelaku tetap tenang. Karena mereka tahu, masyarakat lebih cenderung membela dokter, bukan korban.
Tak sedikit dari mereka yang tampak sempurna di luar. Disukai rekan sejawat. Ramah kepada pasien. Aktif di komunitas. Tapi di balik citra itu, ada sisi gelap yang nyaris tak terdeteksi.
Beberapa psikolog menyebut pelaku kekerasan seksual sering memiliki kecenderungan narsistik merasa diri istimewa, haus kekaguman, dan buta pada batas moral. Sebagian bahkan menunjukkan tanda-tanda psikopati minim empati, manipulatif, dan tega menyakiti tanpa rasa bersalah.
Mereka tak sekadar melanggar hukum. Mereka melukai rasa percaya.
Dan rasa percaya, bila sudah dihancurkan, tak mudah dipulihkan.
Tapi ini bukan hanya tentang individu yang menyimpang. Ini tentang sistem yang membiarkan. Tentang institusi medis yang enggan menindak, bahkan kadang menutupi.
Tentang masyarakat yang menghakimi korban, bukan pelaku. Tentang budaya yang terlalu sibuk menjaga nama baik, sampai lupa menjaga keselamatan pasien.
Kita pernah mendengar kasus di Amerika Serikat Larry Nassar, dokter tim senam nasional, yang selama dua dekade melecehkan lebih dari dua ratus atlet muda. Dunia terkejut. Tapi yang lebih mengejutkan, bukan hanya skalanya, tapi bagaimana ia bisa lolos dari pengawasan begitu lama. Ia memakai bahasa medis untuk membungkam. Ia memakai reputasi untuk mengelabui. Dan system dari federasi olahraga, Universitas, sampai lembaga medis—diam terlalu lama.
Di Indonesia, kasus seperti ini tak kalah serius, hanya saja sering tak viral. Korban takut bicara. Takut dibully. Takut dicap sebagai perusak reputasi. Beberapa yang bicara pun, hanya dianggap sedang mengada-ada. Pelakunya tetap praktik. Tetap disapa “dok” dengan hormat.
Padahal ini bukan tentang satu dua oknum. Ini tentang struktur. Tentang betapa sistem medis kita belum siap menghadapi pelanggaran di dalam dirinya sendiri.
Pendidikan kedokteran yang menekankan keunggulan ilmu, tapi lupa membekali soal kemanusiaan. Rumah sakit yang sibuk dengan akreditasi, tapi lupa membangun mekanisme pengaduan yang aman. Organisasi profesi yang cepat membela anggotanya, tapi lambat membela korban.
Dan di tengah semua itu, korban berjalan sendiri. Kita butuh lebih dari sekadar sanksi. Kita butuh evaluasi. Butuh transparansi. Butuh keberanian untuk mengakui bahwa kekerasan bisa tumbuh di tempat yang paling tak disangka.
Dokter juga manusia. Tapi itu bukan alasan untuk memaklumi kekerasan. Justru karena mereka manusia, mereka harus tunduk pada hukum. Harus diawasi. Harus dimintai pertanggungjawaban jika melanggar.
Profesi tak boleh jadi tameng. Gelar tak boleh jadi perisai.
Dan kita, sebagai masyarakat, harus mulai berani menggeser sudut pandang. Mulai percaya pada cerita korban, bukan hanya reputasi pelaku. Mulai bertanya : bagaimana sistem ini bisa memungkinkan kekerasan terjadi? Siapa yang diam? Siapa yang membiarkan?
Karena selama kita masih terpesona oleh jas putih dan gelar panjang di belakang nama, kita lupa bahwa predator bisa tersenyum sopan. Bisa bicara lemah lembut. Bisa duduk di ruang praktik ber-AC, dikelilingi gelar dan piagam. Tapi tetap saja predator.
Dan kalau sistem tak berubah, kalau pendidikan hanya mencetak dokter pintar tapi tak punya nurani, kalau masyarakat terus menyalahkan korban, maka kita semua sedang ikut menciptakan ruang pelecehan yang baru.
Bukan hanya di ruang praktik. Tapi di ruang batin korban, yang terus dihantui, terus diragukan, terus dikhianati.
Pada April 2025, dunia medis Indonesia diguncang oleh terungkapnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter kandungan berinisial MSF di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kasus ini mencuat setelah beredarnya rekaman CCTV yang menunjukkan tindakan tidak senonoh MSF terhadap seorang pasien ibu hamil di Klinik KH. Video berdurasi 53 detik itu diunggah di akun Instagram @ppdsgramm dan dengan cepat viral, memicu kecaman luas dari masyarakat dan instansi terkait.
Dari informasi media Nasional ternama
MSF ditangkap di Jakarta pada 15 April 2025 dan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Polisi menetapkannya sebagai tersangka setelah dua korban melapor dan hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa MSF telah melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah perempuan di klinik tersebut.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) juga menonaktifkan sementara Surat Tanda Registrasi (STR) MSF sambil menunggu hasil investigasi lebih lanjut, (Sumber Kompas.com)
UU TPKS, yang disahkan pada 2022, merupakan tonggak penting dalam upaya perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia. UU ini mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk yang dilakukan oleh tenaga medis. Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa kekerasan seksual mencakup pelecehan seksual fisik, verbal, dan berbasis elektronik. Dalam konteks kasus Garut, tindakan MSF yang menyentuh tubuh pasien tanpa persetujuan jelas termasuk dalam kategori pelecehan seksual fisik.
Pasal 6 UU TPKS juga secara tegas mengatur tentang pelecehan seksual non-fisik, seperti komentar atau perlakuan yang melecehkan secara verbal. Meskipun dalam kasus Garut tidak ditemukan laporan terkait pelecehan verbal, penting untuk dicatat bahwa UU ini memberikan perlindungan menyeluruh terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual.
Lebih lanjut, Pasal 15 UU TPKS menegaskan hak korban atas pendampingan, perlindungan, dan pemulihan secara komprehensif. Hal ini mencakup hak untuk mendapatkan pendampingan hukum dan psikologis, perlindungan dari tekanan atau intimidasi, serta pemulihan fisik dan psikologis, (Sumber liputan6.com).
Dalam kasus Garut, meskipun beberapa korban telah melapor, tantangan utama adalah bagaimana memastikan hak-hak mereka terlindungi selama proses hukum berlangsung.
Meskipun UU TPKS memberikan landasan hukum yang kuat, implementasinya dalam kasus Garut menghadapi berbagai kendala. Salah satu tantangan utama adalah stigma sosial yang melekat pada korban kekerasan seksual, terutama yang melibatkan tenaga medis. Banyak korban merasa takut untuk melapor karena khawatir tidak dipercaya atau dicap sebagai pencemaran nama baik.
Selain itu, proses pelaporan yang rumit dan kurangnya ruang aman untuk bercerita sering kali membuat korban enggan melanjutkan proses hukum. Beberapa korban melaporkan bahwa mereka dipersulit saat melapor, diinterogasi secara ofensif, atau tidak diberi ruang aman untuk bercerita. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun UU TPKS telah ada, implementasinya masih memerlukan perhatian serius dari aparat penegak hukum dan institusi terkait.
Kendala lainnya adalah kurangnya pelatihan dan sensitivitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Tanpa pemahaman yang memadai, aparat dapat melakukan tindakan yang justru merugikan korban, seperti victim blaming atau pengabaian terhadap hak-hak korban.
Kasus Garut juga menyoroti peran penting institusi medis dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.
Dalam hal ini, rumah sakit dan klinik tempat MSF berpraktik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa tenaga medis yang bekerja di sana tidak melakukan tindakan yang merugikan pasien.
Beberapa pihak menyebutkan bahwa sebelumnya memang sempat ada laporan ke Dinas Kesehatan terkait kasus ini. Namun, penyelesaian kala itu dilakukan secara kekeluargaan antara pihak yang terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal di institusi medis belum berjalan dengan efektif. Penting bagi institusi medis untuk memiliki sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel agar kasus serupa tidak terulang di masa depan, (Sumber Kompas.com).
Kasus tersebut juga menunjukkan bagaimana media sosial dapat berperan dalam mengungkapkan kasus-kasus yang sebelumnya tersembunyi. Rekaman CCTV yang diunggah di Instagram @ppdsgramm menjadi titik awal terungkapnya kasus ini. Media sosial memungkinkan masyarakat untuk saling berbagi informasi dan memberikan dukungan kepada korban.(kompas.id)
Di Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) selama ini menjadi lembaga yang dipercaya untuk menjaga martabat dan etika profesi dokter. Secara ideal, MKDKI berfungsi sebagai benteng utama untuk memastikan bahwa setiap dokter yang melanggar kode etik mendapatkan sanksi yang pantas, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis tetap terjaga. Namun, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter kandungan di Garut mengingatkan kita bahwa benteng tersebut tampaknya rapuh. Bukan saja rapuh, tapi bahkan tampak tak sanggup mencegah dan menindak pelanggaran yang sangat serius sekaligus melukai martabat pasien dan profesi kedokteran itu sendiri.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah organ yang dibentuk untuk menegakkan kode etik kedokteran dan mendisiplinkan para dokter yang melanggar. Lembaga ini beroperasi dengan asas independensi dan objektivitas, bertugas menilai kasus-kasus pelanggaran kode etik yang diajukan oleh masyarakat, institusi kesehatan, atau sesama dokter. MKDKI punya otoritas untuk memberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembekuan sementara Surat Tanda Registrasi (STR), hingga pencabutan STR yang berarti dokter yang bersangkutan tidak lagi dapat berpraktik.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa MKDKI tidak memiliki kewenangan untuk memproses perkara pidana. Artinya, ketika pelanggaran kode etik berujung pada tindakan kriminal, seperti kekerasan seksual, penanganan pidana tetap berada di ranah aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. MKDKI hanya mengurusi aspek disiplin profesi, sedangkan hukum pidana berjalan paralel dan terpisah.
Kasus dokter kandungan di Garut adalah contoh nyata bagaimana keterbatasan MKDKI menjadi kendala serius dalam penanganan pelanggaran yang melibatkan tindak pidana kekerasan seksual.
Ketika pelaku terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap pasien, MKDKI dapat memberikan sanksi administratif, seperti pembekuan STR, tapi tidak bisa menggantikan fungsi hukum pidana yang harus memberikan efek jera melalui proses pengadilan dan hukuman yang layak.
Untuk memastikan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual oleh dokter dapat diselesaikan secara komprehensif dan adil, kolaborasi antar lembaga menjadi mutlak. MKDKI perlu bersinergi dengan aparat penegak hukum agar proses pelanggaran kode etik dan tindak pidana dapat berjalan simultan tanpa tumpang tindih yang merugikan korban.
Lebih dari itu, lembaga perlindungan korban, seperti Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan organisasi masyarakat sipil yang fokus pada hak korban, harus dilibatkan dalam proses pendampingan dan pemulihan.
Pendampingan ini tidak hanya aspek hukum, tapi juga psikologis, sosial, dan medis karena kekerasan seksual meninggalkan luka yang sangat dalam dan kompleks.
Salah satu hal yang membuat kasus Garut menjadi viral dan menggemparkan adalah fakta bahwa pelaku sudah berulang kali melakukan pelecehan tapi tetap dapat berpraktik tanpa hambatan. Ini membuka pertanyaan besar : bagaimana mekanisme pengawasan internal institusi medis dan organisasi profesi bisa begitu lemah?
Pemeriksaan dan pengawasan oleh institusi tempat dokter bekerja, seperti rumah sakit atau klinik, seharusnya dapat menjadi garis pertahanan awal yang efektif. Jika ada laporan atau kecurigaan, harus ada proses investigasi internal yang serius dan segera.
Namun dalam kasus ini, laporan yang muncul sebelumnya belum menghasilkan tindakan yang tegas. Hal ini menunjukkan ada celah besar dalam sistem pengawasan internal yang harus segera diperbaiki.
MKDKI sebagai lembaga pengawas profesi kedokteran juga perlu memperkuat mekanisme penanganan pelanggaran. Mulai dari prosedur pelaporan, investigasi, hingga pemberian sanksi harus dilakukan dengan transparan, cepat, dan berkeadilan. Tidak cukup hanya berorientasi pada perlindungan nama baik profesi, tapi juga harus mengutamakan hak dan keselamatan pasien sebagai prioritas utama.
Kasus Garut seharusnya menjadi momentum bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan reformasi besar-besaran dalam pengawasan profesi medis. Kepercayaan masyarakat terhadap dokter, yang sangat fundamental dalam dunia kesehatan, tidak boleh dikorbankan oleh perilaku segelintir pelaku yang menyalahgunakan kuasa.
Pengawasan yang efektif akan membangun iklim kedokteran yang lebih sehat, di mana pasien merasa aman dan dihormati hak-haknya. Dokter pun dapat berpraktik dengan tenang dan profesional tanpa bayang-bayang kecurigaan. Ini adalah visi yang harus diperjuangkan bersama.
Seorang dokter diajari bagaimana menyelamatkan nyawa. Ia belajar mengenali gejala, meracik diagnosis, menyusun protokol pengobatan. Ia menguasai istilah Latin tubuh manusia, melatih tangan untuk bedah yang presisi, dan mengenakan jas putih yang konon menjadi lambang kehormatan profesi. Namun, di balik gemilang kompetensi klinis, ada satu pelajaran yang sering terlupa, bahkan kerap tak diajarkan : bagaimana menyentuh tanpa melukai, bagaimana memeriksa tanpa mempermalukan, dan bagaimana menyapa tubuh manusia dengan penuh martabat.
Di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, seksualitas masih menjadi topik yang samar, kalau bukan sengaja dihindari. Pendidikan tentang etika seksual, sensitivitas gender, hingga komunikasi empatik kepada pasien belum menjadi bagian utama dalam bangunan kurikulum. Padahal, dalam ruang praktik yang paling privat seperti ruang pemeriksaan kandungan ketidakhadiran pengetahuan ini bukan hanya menciptakan kekosongan, tapi bisa menjelma menjadi kekerasan.
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter kandungan di Garut bukan hanya persoalan individu yang menyimpang. Ia adalah gejala dari sistem yang belum menjadikan integritas moral dan pemahaman etis sebagai fondasi utama pendidikan kedokteran. Kita selama ini mengandalkan kepercayaan bahwa dokter “pasti tahu mana yang pantas dan tidak.” Tapi apakah pernah ada ruang belajar yang benar-benar mengajarkan bagaimana memperlakukan tubuh pasien sebagai subjek, bukan objek? Apakah empati, sopan santun, dan kesadaran akan batas-batas privasi diajarkan dengan sungguh-sungguh, setara dengan ilmu patologi dan farmakologi?
Kita telah terlalu lama menyamakan pendidikan kedokteran dengan keunggulan kognitif semata. Padahal profesi ini bukan hanya soal keterampilan teknis. Ia adalah soal relasi kuasa, soal tubuh yang terbuka di bawah lampu putih terang, soal rasa takut, sakit, dan harapan yang diletakkan begitu saja di tangan seseorang yang disebut “dokter.” Dalam kondisi seperti itu, pasien dalam posisi sangat rentan. Dan kerentanan, jika tidak disertai rasa hormat dan etika yang tinggi, akan dengan mudah tergelincir menjadi kekuasaan yang disalahgunakan.
Sebagian besar kampus kedokteran kita mungkin mengajarkan tentang anatomi dan sistem reproduksi, tetapi tidak memberi cukup ruang untuk membicarakan tentang bagaimana menyampaikan diagnosis penyakit kelamin kepada pasien tanpa membuatnya malu. Mereka menghafal prosedur pemeriksaan payudara, tapi tidak diajarkan bagaimana meminta izin, bagaimana menjelaskan dengan lembut, bagaimana memperlakukan tubuh perempuan bukan semata sebagai objek medis, tapi sebagai manusia utuh yang punya rasa takut dan harga diri.
Pendidikan seksualitas dalam dunia medis seharusnya bukan sekadar pelajaran tentang organ. Ia harus menyangkut relasi antarmanusia : bagaimana membangun komunikasi yang adil dan tidak menindas, bagaimana membaca bahasa tubuh pasien yang merasa tidak nyaman, bagaimana menghindari bias gender, bagaimana membongkar asumsi moralistik yang kerap membuat dokter bersikap menghakimi terhadap pasien.
Di luar negeri, pendidikan kedokteran perlahan mulai bertransformasi. Di beberapa universitas terkemuka, komunikasi pasien menjadi bagian penting dalam pelatihan. Mahasiswa kedokteran diajak memahami konteks sosial dan psikologis pasien, termasuk soal trauma, kekerasan seksual, dan pengalaman buruk di masa lalu. Mereka belajar bahwa menjadi dokter bukan hanya tentang keahlian medis, tetapi tentang kemampuan hadir secara utuh sebagai manusia yang peduli dan peka.
Indonesia tidak bisa lagi menunda reformasi ini. Kurikulum kedokteran harus dikaji ulang secara menyeluruh. Pendidikan tentang etika seksual, empati, dan komunikasi sensitif harus menjadi bagian dari kompetensi inti. Mahasiswa kedokteran harus belajar bahwa setiap tubuh yang mereka periksa adalah tubuh yang punya sejarah, rasa takut, dan hak yang tidak boleh dilanggar. Mereka harus paham bahwa kekuasaan yang mereka miliki sebagai tenaga medis bukan untuk disalahgunakan, tapi untuk dijaga dan dipertanggungjawabkan.
Tanpa itu semua, kita sedang melahirkan dokter-dokter yang cerdas, tapi bisa saja dingin. Profesional, tapi tak punya keberanian moral.
Terampil, tapi abai. Dan dalam dunia medis, ketidakhadiran empati bisa lebih mematikan dari kesalahan dosis obat.
Saatnya fakultas kedokteran membuktikan bahwa mereka tak hanya mencetak penyelamat nyawa, tapi juga penjaga martabat. Karena dokter yang baik bukan hanya yang mampu menyembuhkan, tapi yang tahu cara memperlakukan pasiennya dengan hormat, bahkan sebelum obat diberikan.
Setiap rumah sakit dan klinik harus memastikan protokol pencegahan kekerasan seksual benar-benar diterapkan secara serius. Ini bukan sekadar prosedur formalitas, melainkan langkah konkret untuk melindungi pasien dari ancaman yang sering terjadi di balik tirai steril ruang medis. Ruang konsultasi harus dipasang kamera pengawas dengan pengawasan ketat agar proses pemeriksaan tidak menjadi kesempatan bagi pelaku kekerasan. Selain itu, keberadaan standar operasional prosedur pendampingan pasien perempuan saat pemeriksaan genital menjadi hal mutlak yang tidak boleh diabaikan. Dengan begitu, pasien merasa aman dan tidak sendirian saat menghadapi momen yang rentan tersebut.
Jalur pengaduan yang aman dan cepat pun harus tersedia, agar suara korban tidak terabaikan dan tindakan dapat diambil tanpa penundaan.
Jika kita melihat praktik di negara lain, seperti Swedia, Kanada, dan Jepang, kita akan belajar banyak. Di Swedia, cukup dengan bukti awal yang kuat, izin praktik seorang dokter bisa dicabut secara permanen. Kanada menetapkan kode etik yang melarang kontak fisik non-medis antara dokter dan pasien, menjaga batas profesional yang jelas. Jepang bahkan mengatur sistem rotasi pendamping medis agar tidak ada pemeriksaan pribadi yang berlangsung tanpa pengawasan. Model-model ini memberikan gambaran bahwa perlindungan pasien adalah prioritas, bukan pilihan.
Namun, yang sering terlupakan adalah trauma kedua yang harus dihadapi korban.
Luka fisik dan mental yang dialami korban pelecehan seksual saja sudah berat, belum lagi harus berhadapan dengan proses hukum yang panjang, pertanyaan-pertanyaan menyudutkan dari aparat, dan stigma sosial yang kerap menambah beban. Apalagi jika pelakunya adalah figur ternama atau tokoh masyarakat, tekanan terhadap korban bisa menjadi sangat besar hingga membuat mereka merasa terisolasi dan kehilangan keberanian untuk bersuara.
Di sinilah peran negara menjadi sangat krusial. Negara wajib memberikan perlindungan menyeluruh, mulai dari layanan konseling, bantuan hukum, hingga tempat tinggal sementara dan dukungan pemulihan sosial. Sinergi antara pemerintah daerah, dinas kesehatan, dan lembaga penegak hukum harus diwujudkan agar korban tidak merasa terabaikan. Perlindungan ini tidak boleh setengah hati, melainkan harus menjadi komitmen yang nyata dan konsisten.
Dari sini, kita bisa menyusun beberapa rekomendasi penting yang mendesak untuk segera dijalankan. Pertama, audit etik secara menyeluruh terhadap dokter kandungan di seluruh fasilitas kesehatan harus dilakukan dengan transparan dan independen. Kedua, pelatihan ulang mengenai etika seksual dan komunikasi pasien wajib dijadikan program wajib untuk seluruh tenaga medis. Ketiga, SOP pendampingan pasien perempuan saat pemeriksaan genital harus dibuat dan diterapkan secara tegas, memastikan pasien tidak pernah sendirian. Keempat, keterlibatan masyarakat sipil dan LSM perempuan dalam pengawasan kasus kekerasan seksual harus diperkuat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, revisi undang-undang praktik kedokteran perlu dilakukan agar pelanggaran berat dapat diproses secara pidana, memberikan efek jera yang lebih kuat. Sistem pelaporan daring yang aman dan anonim harus dibangun agar korban dan saksi berani melapor tanpa takut. Layanan pemulihan korban harus diperluas cakupannya, hingga menjangkau setiap kota dan kabupaten, agar dukungan benar-benar merata dan dapat diakses dengan mudah.
Kita pun harus mengembangkan edukasi publik secara masif mengenai hak pasien dan pencegahan kekerasan seksual di fasilitas medis. Edukasi ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Aparat penegak hukum harus mendapat pelatihan khusus agar mereka mampu menangani kasus ini dengan sensitivitas dan keadilan yang tinggi. Terakhir, pemanfaatan teknologi pengawasan yang canggih harus dimaksimalkan untuk menjaga integritas proses medis dan memberikan rasa aman bagi pasien.
Ini adalah tugas Bersama pemerintah, tenaga medis, masyarakat sipil, dan seluruh elemen bangsa untuk memastikan fasilitas kesehatan bukan menjadi tempat yang menakutkan bagi perempuan, tapi justru menjadi ruang yang aman, penuh rasa hormat, dan perlindungan.
Karena pada akhirnya, menjaga martabat dan keselamatan pasien adalah cermin dari kemajuan dan keadilan sebuah bangsa.
Opini Tertulis Oleh ” Nursyifa Mastur”
Rilis OPINI PUBLIK oleh “Nursyifa Mastur” Mahasiswi Universitas Pamulang Tangerang Selatan, Pegiat Literasi Hukum, Pemilik Usaha Moal Comel Kitchen, Wartawan (Jurnalis) Media Presisi Hukum Sebagai Kabiro Kota Bandung.