MEDIA PRESISI HUKUM

www.mediapresisihukum.com I TANGERANG SELATAN

"Saudara-saudara, ada sesuatu yang tak beres…" Begitulah pula yang terjadi dalam dunia
hukum kita belakangan ini, ketika syarat menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak dijadikan objek
judicial review. Sebuah babak baru dalam pertarungan antara prinsip keadilan dan realitas regulasi
yang, menurut sebagian kalangan, mencederai cita-cita supremasi hukum.
Judicial review terhadap syarat kuasa hukum Pengadilan Pajak menjadi pertarungan
argumentatif antara regulasi sektoral dan amanat konstitusi. Sebuah pertanyaan besar pun muncul:
siapa sebenarnya yang berhak mengawal keadilan di meja hijau perkara perpajakan
UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak lahir sebagai bagian dari reformasi
perpajakan Indonesia. Pasal 34 ayat (2) huruf c mengatur bahwa kuasa hukum di Pengadilan Pajak
harus memenuhi syarat tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sebuah wewenang
administratif yang ternyata berbuntut panjang.
Menteri Keuangan menerbitkan PMK No. 184/PMK.01/2017 yang mensyaratkan kuasa
hukum harus memiliki sertifikat khusus. Di sinilah akar permasalahan bermula. Ketika profesi
advokat yang diakui secara nasional dalam UU Advokat harus tunduk pada persyaratan tambahan
yang bersifat sektoral, maka timbul benturan norma dan potensi pelanggaran terhadap prinsip
persamaan di muka hukum.
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak bukanlah sosok asing dalam pertarungan hukum. Ia
adalah advokat muda yang getol menyuarakan isu-isu keadilan dan supremasi hukum. Tahun 2025,
ia mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal yang mengatur
syarat kuasa hukum di Pengadilan Pajak.
Menurut Zico, aturan tersebut diskriminatif. Bagaimana mungkin profesi advokat yang sah,
diatur dalam UU Advokat, masih harus tunduk pada aturan tambahan dari kementerian teknis?
Bukankah ini bentuk subordinasi profesi hukum di hadapan lembaga eksekutif?
Putusan MK Nomor 25/PUU-XXIII/2025 menolak seluruh permohonan. Alasan Mahkamah:
permohonan prematur. Proses integrasi Pengadilan Pajak ke dalam sistem peradilan satu atap (one
roof system) masih berlangsung, sebagaimana diperintahkan dalam Putusan MK sebelumnya Nomor
26/PUU-XXI/2023.
"Mahkamah bilang, sabar dulu, proses belum tuntas." Tapi, apakah alasan ini cukup
menjawab substansi permasalahan? Di sinilah perdebatan menjadi tajam.
Keadilan bukan sekadar putusan yang bersifat final dan mengikat. Ia adalah rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Ketika seseorang ingin membela diri di pengadilan, termasuk
Pengadilan Pajak, maka ia berhak mendapat pendampingan hukum dari siapa pun yang diakuinya
sebagai kuasa hukum – selama orang itu sah secara hukum.

 

Maka muncul pertanyaan: apakah syarat tambahan dari Menteri Keuangan tidak mereduksi
hak itu? Bukankah seharusnya Pengadilan Pajak tidak tunduk pada regulasi teknis kementerian,
melainkan pada hukum acara peradilan yang independen?
Dalam analisis hukum positif, kita dihadapkan pada potensi konflik norma antara UU
Advokat dan UU Pengadilan Pajak. UU Advokat menegaskan bahwa advokat berhak menjalankan
profesinya di seluruh wilayah NKRI. Sedangkan UU Pengadilan Pajak memberikan otoritas kepada
Menteri Keuangan untuk menentukan syarat tambahan.
Logika sederhananya: mana yang lebih tinggi, UU Advokat atau peraturan menteri? Jelas,
peraturan menteri tidak boleh bertentangan dengan UU. Namun dalam praktiknya, PMK seolah
memiliki 'kekuatan lebih' hanya karena tidak digugat secara langsung dalam satu paket permohonan
judicial review.
Di ruang sidang Pengadilan Pajak, banyak advokat menghadapi kendala administratif. Tidak
memiliki sertifikasi khusus? Tidak bisa maju. Padahal mereka telah mengenyam pendidikan hukum,
telah disumpah, dan diakui negara sebagai penegak hukum.
Wajib pajak pun akhirnya terjebak dalam pilihan sulit: memilih kuasa hukum yang belum
tentu menguasai hukum secara umum namun memenuhi syarat teknis, atau advokat profesional
yang tidak bisa tampil karena terganjal regulasi. Di sinilah keadilan bisa jadi terasa jauh panggang
dari api.
Di banyak negara, kuasa hukum dalam perkara pajak tidak dibatasi oleh regulasi sektoral. Di
Australia, Inggris, bahkan Amerika Serikat, pengacara bebas mendampingi klien dalam berbagai jenis
pengadilan termasuk pajak. Sertifikasi tambahan, jika pun ada, bersifat opsional dan bukan
pembatasan.
Indonesia perlu belajar dari praktik global ini: bahwa akses terhadap keadilan harus
didahulukan dibanding sekat-sekat birokrasi sektoral.
Kasus ini membuka peluang untuk revisi UU Pengadilan Pajak. Perlu penegasan bahwa
seluruh peradilan, termasuk pajak, berada dalam sistem satu atap Mahkamah Agung. Syarat kuasa
hukum harus mengikuti standar profesi hukum nasional, bukan regulasi teknis kementerian.
DPR, dalam fungsi legislasi, harus berani mengambil inisiatif untuk menyelaraskan norma. Jangan
biarkan ketidakselarasan ini terus berlarut-larut dan menjadi benih ketidakadilan.
Kasus judicial review ini bukan sekadar sengketa tafsir pasal. Ia adalah cermin besar yang
memantulkan wajah hukum kita hari ini. Wajah yang masih dipenuhi oleh ego sektoral, tarik menarik
kepentingan, dan terkadang mengabaikan suara kecil: suara wajib pajak, suara kuasa hukum, dan
suara rakyat yang merindukan keadilan.
"Inilah fakta hukum kita…" Dan tugas kita semua adalah memperbaiki yang belum
sempurna, menyuarakan yang terpinggirkan, serta menjaga agar hukum tetap menjadi
panglima bukan alat kekuasaan, apalagi alat diskriminasi.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, salah satu tokoh utama dalam pengembangan hukum tata
negara Indonesia, menilai bahwa fenomena ini menunjukkan belum terintegrasinya sistem
hukum secara menyeluruh. "Selama pengadilan pajak belum berada di bawah Mahkamah
Agung, maka potensi tumpang tindih regulasi tetap ada," ujarnya dalam sebuah seminar di
Jakarta.

 

Dari perspektif hukum administrasi, Prof. Dr. Maria Farida Indrati, mantan Hakim
Konstitusi, menambahkan bahwa delegasi kewenangan kepada Menteri Keuangan dalam
menentukan syarat kuasa hukum berpotensi melampaui batas. "Regulasi sektoral tidak boleh
menciptakan diskriminasi terhadap profesi hukum yang telah diatur secara nasional,"
tegasnya.
Kedua pendapat ini menyoroti benang merah: syarat administratif tidak boleh
melangkahi prinsip-prinsip konstitusional tentang kesetaraan dan akses keadilan.
Pada tahun 2023, sebuah perusahaan rintisan (startup) teknologi asal Bandung
menggugat keberatan atas tagihan pajak senilai Rp2,1 miliar. Mereka menunjuk seorang
advokat kawakan lulusan Harvard Law School, berpengalaman dalam arbitrase dan
perpajakan internasional. Namun sidang pertama menyatakan kuasa hukum mereka "tidak
sah" karena tidak memiliki sertifikasi yang diakui oleh PMK 184/2017.
Alhasil, perusahaan itu harus mencari kuasa hukum baru yang memiliki sertifikat
yang ternyata tidak memiliki pengalaman dalam kasus perpajakan digital. Gugatan mereka
akhirnya ditolak. Manajemen startup itu menyebut: "Kami kalah bukan karena argumen, tapi
karena birokrasi."
Kasus ini menggambarkan betapa potensi ketidakadilan bukan terletak pada isi
hukum, tetapi dalam bentuk-bentuk penghambat yang bersifat administratif.
Berdasarkan data yang dihimpun dari laporan tahunan Pengadilan Pajak 2022–2024:
 Terdapat 12.417 perkara yang ditangani selama periode tersebut.
 Dari jumlah itu, sekitar 23% ditangani langsung oleh kuasa hukum yang
merupakan pegawai perusahaan, bukan advokat.
 Hanya sekitar 9% perkara yang melibatkan advokat bersertifikat sesuai PMK.
 Terdapat setidaknya 317 perkara yang ditunda karena ketidaksesuaian administratif
dalam status kuasa hukum.
Artinya, sekat administratif tersebut tidak hanya menimbulkan kebingungan tetapi juga
memperlambat proses peradilan.
Amerika Serikat: IRS dan Tax Court membolehkan pengacara umum untuk mewakili wajib
pajak. Tidak ada regulasi teknis dari Departemen Keuangan yang membatasi profesi hukum.
Inggris Raya: Barrister dan solicitor bebas mendampingi klien di Tax Tribunal. Fokusnya
bukan pada sertifikasi administratif, tapi pada kompetensi hukum umum.
Australia: Dalam Administrative Appeals Tribunal (AAT), kuasa hukum tidak dibatasi oleh
sertifikasi pajak. Pelatihan tambahan tersedia secara opsional, namun bukan syarat mutlak.
Model negara-negara tersebut menempatkan keadilan dan akses sebagai prinsip utama, bukan
administratif sektoral.

 

Simulasi Hukum: Jika Advokat Umum Dilarang, Apa Dampaknya?
Mari kita simulasikan:

1. Misalnya advokat umum tetap dilarang tampil di Pengadilan Pajak.
2. Maka, akan terjadi keterbatasan kuasa hukum yang tersedia karena jumlah pemegang
sertifikasi terbatas.
3. Wajib pajak menengah ke bawah akan kesulitan mendapatkan pendampingan hukum
yang terjangkau.
4. Terjadi peningkatan penggunaan kuasa internal atau penasihat pajak non-hukum, yang
justru bisa berisiko dari segi strategi hukum.
5. Akibatnya, kualitas pembelaan menurun, dan hasil putusan bisa menjadi timpang
karena pihak tergugat (Direktorat Jenderal Pajak) selalu didampingi oleh biro hukum
profesional.
Implikasi Politik dan Ekonomi
 Politik: Masalah ini membuka peluang perdebatan antara kekuasaan eksekutif dan
yudikatif. Jika peraturan menteri bisa mengatur ulang fungsi advokat, maka ada sinyal
subordinasi lembaga profesi hukum terhadap kekuasaan administratif.
 Ekonomi: Ketidakpastian hukum menimbulkan ketidakpastian usaha. Investor
enggan masuk ke sektor yang dipenuhi aturan tumpang tindih. Salah satu laporan
World Bank’s Doing Business Report tahun 2024 menempatkan Indonesia di
peringkat 73 dalam aspek penyelesaian sengketa komersial sebagian karena lemahnya
sistem penyelesaian sengketa pajak.
Saudara-saudara, hukum adalah kompas. Tapi apa jadinya jika kompas itu diputar oleh
angin sektoral?
Judicial review yang diajukan Zico Leonard bukan sekadar gugatan. Ia adalah suara
publik yang menuntut agar hukum kembali ke pangkuan keadilan, bukan sekadar prosedur.
Kita tidak sedang bicara tentang satu PMK, satu pasal, atau satu lembaga. Kita sedang
berbicara tentang keberanian untuk berkata: cukup sudah, mari kita luruskan arah.
Jika profesi advokat, yang telah disumpah di bawah konstitusi, harus tunduk pada
persyaratan administratif dari kementerian teknis, maka kita sedang membiarkan birokrasi
mengalahkan konstitusi.
Dan jika suara keadilan dibungkam hanya karena belum tiba waktunya, lalu siapa yang
berhak menentukan waktu terbaik untuk memperjuangkannya?
Keadilan bukan soal tanggal. Ia adalah panggilan nurani.
“Suatu negara bisa berdiri tanpa militer, tapi tidak akan pernah bisa hidup tanpa keadilan.”
Benjamin Franklin
Sudah saatnya kita berdiri bersama: bukan di sisi pasal, tapi di sisi prinsip. Karena
dalam dunia hukum, kebenaran tidak lahir dari kekuasaan tapi dari keberanian untuk
menyuarakan yang benar.

 

Opini Hukum Ridho Akbar Falayardho  I UNIVERSITAS PAMULANG

 

 

Tags:#bandung #bandungraya #tangerang #bandung #jawatimur #jawatengah #purwokerto #purbalingga #subang #camatsukaraja#jakarta#jawabarat#sukabumi #bandung #bandungraya #tangerang #bandung #jawatimur #jawatengah #purwokerto #purbalingga #subang #camatsukaraja