OPINI PUBLIK

MEDIA PRESISI HUKUM | www.mediapresisihukum.com

Bayangkan pagi yang tenang, ketika langit baru saja memerah diterpa sinar mentari. Di sebuah desa kecil, seorang ibu duduk di beranda rumahnya, menggenggam sebuah foto tua dengan mata yang berkaca-kaca. Bukan karena kehilangan benda, tapi kehilangan rasa aman. Ia baru saja menjadi korban pencurian. Namun yang lebih menyayat hatinya adalah saat tahu pelakunya adalah anak tetangga sebelah yang dulu sering ia beri makanan.

Di sinilah kita diingatkan bahwa kejahatan, sejatinya, tidak hanya soal hukum dan pasal, tetapi soal luka dan hubungan yang tercerai-berai. Inilah pangkal dari sebuah gagasan besar yang pelan tapi pasti mulai menyusup ke dalam sistem hukum kita: Restorative Justice, atau keadilan restoratif.
Restorative Justice bukan konsep baru. Ia lahir dari akar-akar kearifan lokal yang dahulu begitu dekat dengan kita musyawarah desa, penyelesaian konflik melalui kepala adat, duduk bersama di bawah pohon rindang sambil menyesap kopi dan menumpahkan keresahan. Kini, dalam balutan modernitas, konsep ini kembali mengemuka, menawarkan nafas segar dalam penegakan hukum yang selama ini terkesan dingin dan tak berjiwa.
Korban, dalam sistem peradilan konvensional, sering kali terpinggirkan. Mereka hadir sekadar sebagai alat bukti, bukan subjek utama yang harusnya mendapat perhatian dan pemulihan.

Dalam keadilan restoratif, paradigma ini diubah secara mendasar.
Restorative Justice meletakkan korban sebagai titik sentral. Korban bukan hanya ingin pelaku dihukum, tapi ingin didengar. Mereka ingin suaranya berarti, ingin rasa sakitnya diakui, dan yang paling penting: ingin pulih. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional.
Kita tidak berbicara soal kompensasi semata, tapi validasi atas rasa kehilangan, trauma, dan kerusakan hubungan sosial yang terjadi. Inilah alasan mengapa dalam proses RJ, korban diberi ruang untuk mengungkapkan perasaan mereka, berbicara langsung kepada pelaku, dan bahkan, dalam banyak kasus, menerima permintaan maaf yang tulus. Sebuah permintaan maaf yang mungkin tak bisa mereka dapatkan dari persidangan dengan toga dan palu.

Ada satu momen yang tidak akan saya lupakan. Seorang remaja pelaku pencurian menangis tersedu dalam sebuah sesi mediasi. Ia tak menangis karena takut dipenjara. Ia menangis karena pertama kali dalam hidupnya, ia mendengar sendiri bagaimana perbuatannya menyakiti orang lain. Ia, untuk pertama kali, melihat korban sebagai manusia, bukan sekadar angka kerugian.
Inilah kekuatan RJ. Ia membukakan mata pelaku. Bahwa tindakannya punya konsekuensi bukan hanya pada dirinya, tapi pada orang lain dan lingkungannya. Dalam sistem retributif, pelaku hanya tahu bahwa ia akan dihukum. Tapi dalam RJ, pelaku diajak untuk mengakui kesalahan, bertanggung jawab, dan memperbaiki. Ia tak hanya dihukum, tapi disadarkan.
Dan ajaibnya, di sinilah proses penyembuhan itu bermula. Ketika pelaku tidak merasa dirinya sebagai musuh masyarakat, tapi bagian dari masyarakat yang punya tanggung jawab untuk memperbaiki. Ketika pelaku tidak lagi melihat dirinya sebagai sampah sistem, tapi sebagai manusia yang bisa bertumbuh.
Komunitas adalah benang yang menyatukan kehidupan sosial kita.

Ketika terjadi kejahatan, bukan hanya dua individu yang terluka, tapi juga jaringan sosial di sekelilingnya. Restorative Justice menyadari hal ini.
Dalam pendekatan ini, masyarakat dilibatkan bukan hanya sebagai saksi atau penonton, tapi sebagai penyembuh. Proses mediasi tidak akan bermakna tanpa kehadiran tetangga, tokoh agama, ketua RT, bahkan teman sebaya. Mereka yang dulu mungkin acuh, kini diberi peran untuk menyatukan kembali benang-benang yang terputus.
Bayangkan sebuah forum kecil di balai desa, di mana semua pihak duduk melingkar. Tidak ada pangkat, tidak ada kursi tinggi. Hanya manusia yang ingin menyembuhkan luka bersama. Proses ini tidak hanya menyelesaikan perkara hukum, tapi memperkuat solidaritas. Masyarakat tidak lagi menggantungkan penyelesaian kepada pengadilan, tapi mengambil bagian dalam membentuk keadilan.
Kita mengenal sosok Dedi, tukang becak tua dari Serang yang sempat mencuri ponsel demi menebus obat untuk istrinya yang lumpuh. Kasusnya viral dan memancing simpati publik. Tidak semua orang tahu, kasus Dedi tidak berakhir di pengadilan. Melalui mediasi yang melibatkan pihak korban, warga sekitar, dan tokoh masyarakat, Dedi mendapat maaf, bahkan pekerjaan sebagai petugas kebersihan di kantor kelurahan.

Salah satu kisah lain datang dari Makassar, di mana dua remaja berkelahi karena kesalahpahaman di media sosial. RJ diterapkan, bukan hanya untuk menyelesaikan kasus, tetapi untuk membentuk pemahaman baru di antara anak-anak muda tentang cara menyelesaikan konflik. Kini keduanya aktif dalam komunitas pemuda damai dan menjadi fasilitator dialog di sekolah mereka.

Selandia Baru menjadi pionir dalam penerapan RJ, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan anak muda. Di sana, Family Group Conference menjadi praktik umum, di mana semua pihak pelaku, korban, keluarga, dan komunitas duduk bersama untuk mencari solusi. Negara ini bahkan mencatat penurunan angka residivisme sejak pendekatan RJ diperluas.

Di Kanada, program Circles of Support and Accountability (CoSA) melibatkan sukarelawan untuk mendampingi mantan narapidana dalam proses reintegrasi sosial. Pendekatannya bersifat personal dan penuh welas asih, dengan prinsip dasar bahwa setiap orang berhak atas kesempatan kedua.
Di Rwanda, usai tragedi genosida, sistem Gacaca dihidupkan kembali sebagai bentuk RJ. Ribuan pelaku kekerasan diadili bukan oleh hakim dalam ruang tertutup, tapi oleh masyarakat sendiri di halaman-halaman desa. Di sanalah, antara tangis dan pengakuan, penyembuhan bangsa dimulai.

Apa arti hukum jika ia tak mampu menyembuhkan? Jika keadilan hanya hadir dalam bentuk hukuman, lalu ke mana perginya rasa empati? Di sinilah kita perlu merefleksikan kembali tujuan sejati dari hukum: bukan sekadar menegakkan, tetapi merangkul.
Kita hidup dalam masyarakat yang kompleks, di mana manusia bukan hanya pelaku atau korban, tetapi individu yang rentan, penuh luka, dan harapan. RJ menempatkan nilai-nilai spiritual seperti pengampunan, tanggung jawab, dan kasih sayang di tengah proses hukum. Ia lebih dekat pada wajah Yesus yang mengampuni perempuan berdosa, atau pada konsep taubat dalam Islam yang memberi ruang untuk kembali.
Keadilan bukan berarti membalas, tetapi memperbaiki. Bukan berarti menebus kesalahan dengan derita, tetapi dengan kesadaran. Dan dalam setiap proses RJ, kita melihat kilatan cahaya dari nilai-nilai luhur ini. Dalam setiap pengakuan pelaku, setiap pelukan korban, setiap senyum yang kembali merekah setelah luka, kita melihat hukum yang hidup.
Restorative Justice bukan utopia. Ia adalah kerja keras, penuh tantangan, kadang menuntut kesabaran tanpa batas. Tapi ia nyata. Dan ketika ia diberi ruang, ia menyentuh lebih banyak hati dibandingkan sekadar palu yang diketukkan di ruang sidang.
Di masa depan, semoga kita membangun lebih banyak ruang mediasi, bukan jeruji. Lebih banyak forum dialog, bukan benteng pengadilan. Karena ketika keadilan bisa membuat seseorang menangis bukan karena takut, tapi karena harapan, maka kita tahu: kita sedang berjalan di jalan yang benar.
Dan di sana, hukum bukan lagi hanya teks, tetapi wajah manusia. Ia hidup, ia berdenyut, ia menyentuh. Seperti yang selalu saya percaya: di balik setiap perkara hukum, selalu ada cerita. Dan setiap cerita layak didengar, dipahami, dan jika mungkin dimaafkan.

Bayangkan seorang anak berusia 14 tahun. Namanya Randi. Ia tinggal di pinggiran kota, hidup bersama ibunya yang bekerja serabutan dan adik kecil yang belum sekolah. Suatu hari, karena lapar dan putus asa, Randi nekat mencuri dua bungkus nasi dari warung makan. Ia tertangkap, dipukul, lalu digelandang ke kantor polisi.
Dalam sistem hukum yang lama, mungkin Randi langsung dijerat pasal pencurian, diadili, lalu dihukum. Tapi hari itu, ada yang berbeda. Seorang penyidik muda yang sudah mengikuti pelatihan keadilan restoratif menghubungi pihak kejaksaan. Proses diversi dimulai. Pemilik warung, setelah mengetahui latar belakang Randi, menangis dan memeluk anak itu. Ia memaafkan, bahkan menawarkan untuk membiayai sekolah Randi.
Itu bukan hanya pengampunan. Itu adalah kemenangan bagi hukum yang melihat manusia, bukan sekadar pelanggaran.

Restorative Justice di Indonesia bukan sekadar wacana atau eksperimen moral. Ia memiliki pijakan hukum yang kokoh. Regulasi demi regulasi telah disusun, memberi ruang dan legalitas kepada praktik RJ untuk tumbuh dan berkembang. Inilah titik temu antara harapan masyarakat dan keadaban hukum.
Mari kita gali satu per satu, tak hanya dari segi teks, tetapi dari kisah-kisah nyata yang mewarnainya.
Ketika UU ini disahkan, kita menyaksikan satu perubahan besar dalam sistem hukum Indonesia. Anak yang berhadapan dengan hukum tidak lagi dilihat sebagai kriminal kecil yang harus dihukum seberat-beratnya. Mereka dilihat sebagai individu yang sedang tumbuh, yang masih bisa dibimbing dan diarahkan.

Konsep diversi diperkenalkan secara resmi. Diversi bukan cuma pemindahan perkara dari jalur formal ke informal. Ia adalah ruang untuk dialog, maaf, dan pemulihan. UU ini mewajibkan semua pihak penyidik, jaksa, hingga hakim untuk mengupayakan diversi sejak awal proses hukum.
Saya masih ingat kisah Ibu Nur, seorang guru SD di Yogyakarta. Suatu ketika, salah satu muridnya, Dion, mencuri handphone milik temannya. Orangtua korban menuntut proses hukum. Namun berkat pendekatan RJ yang dimungkinkan oleh UU ini, Dion tidak sampai masuk tahanan. Ia dan orangtuanya bertemu korban dan keluarganya, dalam suasana penuh air mata dan permohonan maaf. Dion kini sudah SMA, aktif di kegiatan gereja dan menjadi mentor bagi adik-adik kelasnya.
Tanpa UU 11/2012, mungkin jalan hidup Dion sudah patah di tengah jalan.

Peraturan Jaksa Agung ini adalah tonggak sejarah. Ia menjadi bukti bahwa institusi penegak hukum bisa dan mau bertransformasi.
Dulu, jaksa seringkali dipersepsikan sebagai “pengejar hukuman maksimal.” Namun dengan peraturan ini, jaksa diberi ruang untuk menjadi pelayan keadilan yang lebih luas. Jaksa kini boleh menghentikan penuntutan perkara tertentu dengan pendekatan keadilan restoratif.
Ada syaratnya, tentu. Perkara harus tergolong ringan. Pelaku menyesal. Korban memaafkan. Dan yang terpenting: ada itikad baik untuk menyembuhkan, bukan menghukum.

Pak Eko, seorang jaksa di Kota Malang. Ia bercerita tentang perkara penganiayaan ringan antara dua tetangga yang hampir naik ke pengadilan. Namun berkat semangat RJ dan payung hukum dari Perja 15/2020, ia memfasilitasi pertemuan damai. Kini kedua tetangga itu justru bersahabat, bahkan membuat taman bersama di lingkungan mereka.
Pak Eko berkata pelan, “Saya lebih bahagia menghentikan perkara dan menyatukan manusia, daripada sekadar memenangkan sidang.”
Dalam KUHAP, Pasal 139 menyebutkan bahwa jaksa berwenang melakukan penuntutan jika perkara dianggap cukup. Namun pasal ini juga membuka ruang: penuntutan bisa tidak dilakukan demi kepentingan umum.
Apa arti kepentingan umum? Di sinilah nurani harus bekerja.
Bayangkan seorang ayah tua mencuri obat untuk anaknya yang sedang sekarat. Secara hukum, ia mencuri. Tapi adakah keadilan dalam menghukumnya? Di sinilah Pasal 139 menjadi pintu masuk keadilan restoratif. Bukan untuk membenarkan pelanggaran, tetapi untuk memahami alasan di baliknya.
Banyak jaksa progresif yang mulai menggunakan pasal ini untuk tidak melanjutkan penuntutan perkara-perkara yang tidak lagi relevan dengan rasa keadilan. Mereka memahami bahwa kadang, keadilan bukan berarti menang di pengadilan, tapi memulihkan martabat manusia.

Selain ketiga payung hukum utama tersebut, ada sejumlah aturan lain yang turut menopang keberlanjutan RJ, seperti:
• Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Penanganan Perkara Ringan melalui Restorative Justice.
• Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Diversi.
• Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang memasukkan pendekatan RJ sebagai bagian dari reformasi hukum nasional.
Semua ini menunjukkan bahwa negara tak tinggal diam. Ada kesadaran kolektif bahwa hukum tak bisa berjalan sendirian, ia harus menggandeng kasih sayang dan kebijaksanaan lokal.
Berdasarkan data dari Kejaksaan Agung RI, sejak diberlakukannya Perja 15 Tahun 2020 hingga 2025, lebih dari 4.000 perkara di seluruh Indonesia telah diselesaikan melalui RJ. Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah ribuan luka yang disembuhkan, ribuan hati yang didekap kembali.

Di Papua, saya mendengar kisah tentang dua pemuda yang nyaris saling bunuh karena salah paham. Namun dalam mediasi adat yang diakui oleh kejaksaan setempat, keduanya berdamai dan kini menjadi sahabat. Bahkan membuka usaha bersama. “Kami sadar,” kata salah satu dari mereka, “musuh terbesar bukan orang lain, tapi kemarahan yang tidak disembuhkan.”
Mengapa Ini Penting?
Karena hukum bukan menara gading. Ia harus membumi. Ia harus mampu menyapa yang lemah, yang tersingkir, yang terpinggirkan. Dan landasan hukum RJ di Indonesia memberikan kita harapan bahwa hukum bisa dan sedang berubah ke arah itu.
Sebagai bangsa, kita memerlukan sistem hukum yang tak hanya menakut-nakuti, tetapi juga merangkul. Sistem yang mampu berkata: “Aku mengerti kamu salah, tapi aku juga tahu kamu bisa berubah.”
Restorative Justice bukan kelembekan. Ia justru menunjukkan keberanian tertinggi dalam hukum: keberanian untuk percaya pada manusia.

Di sebuah ruang mediasi di Kota Tangerang. Seorang anak muda, pelaku penganiayaan ringan, duduk gelisah di depan korban. Mereka dipertemukan bukan di pengadilan, tapi di ruangan sederhana, dengan secangkir teh dan tisu di atas meja.
“Kenapa kamu lakukan itu?” tanya korban perlahan.
“Karena saya malu. Saya diolok-olok… Saya hilang kontrol,” jawab si pelaku, air matanya jatuh.
“Kalau kamu janji tidak ulangi, aku maafkan. Tapi tolong jaga dirimu. Jangan rusak hidupmu.”
Hari itu, tidak ada vonis. Tidak ada palu. Tapi ada keadilan. Dan saya tahu, itulah hukum yang seharusnya. Hukum yang tumbuh dari hati, dan kembali ke hati.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban yang kerap kali menyisakan cerita pilu, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang hadir membawa angin segar melalui pendekatan Restorative Justice (RJ).

Langkah-langkah konkret yang diambil oleh Kejari Kota Tangerang bukan hanya sekadar penegakan hukum, melainkan juga upaya memanusiakan hukum itu sendiri.
Kasus-Kasus yang Diselesaikan melalui RJ
1. Kasus Penganiayaan Ringan (April 2023)
Pada April 2023, Kejari Kota Tangerang menghentikan penuntutan terhadap kasus penganiayaan ringan setelah adanya perdamaian antara terdakwa dan korban. Kasus ini melibatkan terdakwa Jopie Amir bin Alm Amirudin dan Pabuadi bin Alm Susmono. Penghentian penuntutan ini merupakan penerapan RJ pertama oleh Kejari pada tahun tersebut .(Tangerang Kota)
2. Kasus Penggelapan Barang (April 2023)
Pada bulan yang sama, Kejari kembali menerapkan RJ dalam kasus penggelapan handphone. Mediasi yang melibatkan tokoh masyarakat dan keluarga kedua belah pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian, sehingga penuntutan terhadap terdakwa dihentikan .(Tangerang Kota)
3. Kasus Pencurian Besi Bekas dan KDRT (Juli 2022)
Pada Juli 2022, dua perkara diselesaikan melalui RJ setelah mendapatkan persetujuan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Kasus pertama melibatkan pencurian besi bekas dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2,5 juta. Kasus kedua adalah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kedua kasus tersebut berakhir damai dan tersangka dibebaskan .(Megapolitan, detiknews)
Pada Januari 2025, Pemerintah Kota Tangerang dan Kejari menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk mendukung penerapan RJ dalam penyelesaian perkara pidana. Kesepakatan ini memungkinkan Pemkot untuk terlibat dalam pemberdayaan para pihak yang terlibat dalam kasus pidana .
Pada Maret 2022, Kejari Kota Tangerang meresmikan “Kampung Restorative Justice” di Kecamatan Pinang. Inisiatif ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan hukum di tingkat komunitas melalui musyawarah dan mufakat, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama .
Kejari aktif melakukan sosialisasi mengenai RJ, termasuk di Kecamatan Karawaci pada Oktober 2023. Kegiatan ini melibatkan RT, RW, Karang Taruna, dan elemen masyarakat lainnya untuk meningkatkan pemahaman tentang RJ dan pencegahan tindak pidana .

Melalui langkah-langkah tersebut, Kejari Kota Tangerang menunjukkan bahwa hukum tidak hanya tentang menghukum, tetapi juga tentang memulihkan dan membangun kembali hubungan yang rusak akibat tindak pidana. Restorative Justice menjadi jembatan antara keadilan dan kemanusiaan, membawa harapan baru bagi sistem peradilan di Indonesia.
Salah satu kekuatan terbesar dari Restorative Justice di Kota Tangerang terletak pada partisipasi aktif tokoh masyarakat. Di balik setiap proses mediasi yang damai, ada suara-suara bijak yang mampu meredam amarah dan menyalakan kembali semangat gotong royong.
Kita bisa menyebut nama Ustaz Haji Mahmud, seorang tokoh agama di Kecamatan Cibodas. Beliau dikenal sebagai penengah yang disegani. Dalam sebuah kasus penganiayaan ringan antara dua remaja yang sempat memanas di lingkungannya, Ustaz Mahmud mengambil peran sebagai juru damai. Ia membuka pintu rumahnya untuk kedua belah pihak, menyajikan kopi hangat, dan menyampaikan pesan damai dengan lembut namun mengena.
“Saya bilang ke mereka, anak muda itu memang sering salah langkah. Tapi jangan kita hukum anak-anak kita dengan kebencian. Ayo kita bantu mereka kembali ke jalan yang baik,” tutur Ustaz Mahmud dalam sebuah forum kampung Restorative Justice.

Bukan hanya tokoh agama, Ketua RW, tokoh adat, hingga aktivis Karang Taruna juga memainkan peran penting. Misalnya Bu Lastri, Ketua RW di salah satu kelurahan di Kecamatan Karang Tengah. Ketika terjadi kasus pencurian sandal di masjid yang awalnya nyaris berujung pada proses hukum formal Bu Lastri mengusulkan pendekatan musyawarah. Ia memanggil pihak korban dan pelaku, serta orang tua mereka. “Kalau kita bisa damai, kenapa harus ke pengadilan? Anak itu masih SMP, kasihan kalau masa depannya hancur karena satu kesalahan kecil,” katanya.
Keterlibatan tokoh masyarakat seperti ini menciptakan ekosistem RJ yang hidup dan kontekstual. Mereka menjadi penjaga nilai lokal yang mengintegrasikan semangat hukum dengan kearifan budaya. Kejaksaan Negeri Kota Tangerang, dalam hal ini, tampil sebagai pelopor semangat baru tersebut. Di tengah desakan angka kriminalitas dan tumpukan perkara di meja penuntutan, Kejari Kota Tangerang justru memelopori inisiatif-inisiatif RJ dengan semangat kolektif dan inklusif. Praktik-praktik yang dilakukan oleh lembaga ini menunjukkan bahwa hukum bisa bersikap tegas namun tetap berbelas kasih, bisa menjadi panglima tanpa kehilangan sisi manusiawinya.
Pekan kedua bulan Mei 2025 menjadi momentum yang tak terlupakan bagi masyarakat hukum di Kota Tangerang. Di Kantor Kejaksaan Negeri Kota Tangerang, suasana haru dan harapan menyatu ketika seorang pria paruh baya, yang sebelumnya menjadi tersangka pencurian kabel listrik, akhirnya dipertemukan dengan korban perwakilan dari PLN. Bukan dalam ruang sidang, bukan dengan hakim di podium tinggi, tetapi dalam satu ruangan yang hangat, bersahaja, dengan meja kayu sederhana dan secangkir teh hangat di tengahnya.

Oleh :
Hardhianto Priyombodo

Mahasiswa Hukum Universitas Pamulang

Tags:#bandung #bandungraya #tangerang #bandung #jawatimur #jawatengah #purwokerto #purbalingga #subang #camatsukaraja#sukabumi #bandung #bandungraya #tangerang #bandung #jawatimur #jawatengah #purwokerto #purbalingga #subang #camatsukaraja